COVER
Tugas
Makalah
MAKALAH
“TAKHRIJ HADITS”
Dibuat Dalam Rangka Memenuhi Salah Satu
Tugas
Mata
Kuliah : ULUMUL HADITS
Dosen
Pengampuh : Dr. Desi Erawati, M.
Ag

Di
Susun Oleh:
Nurhidayat Novalis, NIM:
1301140326
Rahmi
Hidayat, NIM: 1101140249
STUDI TADRIS BIOLOGI
JURUSAN TARBIYAH PROGRAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA
2014 M / 1435 H
KATA PENGANTAR
بِسۡمِ
ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
Alhamdulillah, dengan memanjatkan puji syukur kehadirat
Allah SWT. yang senantiasa melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayahnya, sehingga
penulis mampu menyelesaikan makalah Ulumul Hadits ini tepat pada waktu yang
telah disepakati.
Sebelum dan sesudahnya penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah memberikan sumbangan tenaga dan pikiran, sehingga
makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Adapun tujuan makalah ini disusun adalah untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Ulumul Hadits, dan sebagai bahan belajar untuk
kita khususnya dalam menambah wawasan, keterampilan, dan kemahiran dalam
berdiskusi dan berbicara didepan orang banyak. Dengan adanya makalah ini kami
berharap nantinya agar dapat bermanfaat bagi kta semua.
Kami menyadari dalam penilisan makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan, dan masih banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh sebab itu
kami mengharapkan saran dan masukan kepada semua pihak demi kesempurnaan
makalah ini.
Pada akhirnya hanya kepada Allah SWT. kami penulis
memohon perlindungan dari kesesatan dan kemungkaran, dan semoga usaha yang
sekecil ini manfaat dan berkah. Aamiin.
Palangka raya, November 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam mempelajari ilmu hadits kita juga perlu mengetahui
sejarah hadits, penukilan, penyampaian, kualitas, keadaan dll.
Kenapa ? hadits juga merupakan dalil yang bisa dijadikan penyelesaan sebuah
masalah, tapi supaya hadits itu dapat kita yakini. Ya, kita harus mengetahui
keadaan hadits, kualitas dll. Suatu nasehat dapat kita percayai apabila kita
mempercayai orang yang menyampaikannya, kita akan mempercayai oaring yang
menyampaikannya kita harus mengetahui dulu tingkah lakunya. sama juga halnya
dengan sebuah hadits agar kita mempercayainya, kita terlebih dahulu mengenal
siapa yang mengeluarkannya dan bagamana keadaan orang yang mengeluarkanya itu.
Mungkin dalam pembahasn kami kali ini menekankan pada cara mengeluarkan hadits
baik dengan keadaan perawinya, maupun terhadap kualitas haditsnya, dengan
mentakhrij kita dapat mengetahui keadaan hadits dan kualitasnya. Untuk
mengetahuinya lebih dalam kita harus menggunakan metode-metode. Seperti :
Metode Takhrij Naql, Tashih dan I’tibar. Yang akan dipaparkan dalam bab
berikutnya.bukan hanya itu saja, kita juga bisa mengetahui kegunaan dan tujuan
dari takhrij hadits.
B. RUMUSAN MASALAH
a.
Pengertian
dari Takhrij Hadis ?
b.
Tujuan dan
manfaat Takhrij Hadis ?
c.
Kitab-kitab
yang diperlukan ?
d.
Cara
pelaksanaan Takhrij Hadis ?
C. TUJUAN
a.
Mengetahui
pengertian Takhrij Hadis.
b.
Mengetahui
tujuan dan manfaat Takhrij Hadis.
c.
Mengetahui
kitab-kitab yang diperlukan untuk Takhrij Hadis.
d.
Mengetahui
pelaksanaan Takhrij Hadis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Takhrij Hadits
Takhrij menurut bahasa mempunyai beberapa makna, yang
paling mendekati disini adalah berasal dari kata kharaja yang artinya nampak
dari tempatnya, atau keadaannya, dan terpisah, dan kelihatan. Demikian juga
kata al-ikhraj yang artinya menampakan dan memperlihatkannya, dan al-makhraj
artinya tempat keluar, dan akhraja al-hadits wa kharrajahu artinya menampakan
dan memperlihatkan Hadis kepada orang dengan menjelaskan tempat keluarnya.[1]
Takhrij menurut istilah adalah melanjutkan tempat Hadis
pada sumber aslinya yang mengeluarkan Hadis tersebut dengan sanadnya dan
menjelaskan derajatnya ketika diperlukan.
Takhrij Hadis adalah merupakan bagian dari kegiatan
penelitian. Sebelum mengenal pengertian takhrij, ada baiknya juga mengenal
terlebih dahulu dua kata lain yang mempunyai kata dasar yang sama dari kata
khara-ja, yaitu ikhraj dan istikhraj, yang penggunaannya sedikit berbeda antara
yang satu dengan yang lainnya.[2]
Pengertian takhrij menurut ahli Hadis memiliki tiga (3)
macam pengertian, yaitu:
a.
Usaha mencari
sanad Hadis yang terdapat dalam kitab Hadis karya orang lain, yang tidak sama
dengan sanad yang terdapat dalam kitab tersebut. Usaha semacam ini dinamakan
juga istikhraj. Misalnya seorang mengambil sebuah Hadis dari kitab Jamius
Shahih Muslim, kemudian ia mencari sanad Hadis tersebut yang berbeda dengan
sanad yang telah ditettapkan oleh Imam Muslim.
b.
Suatu
keterangan bahwa Hadis yang dinukilkan ke dalam kitab susunannya itu terdapat
dalam kitab lain yang telah disebutkan nama penyusunnya. Misalnya, penyusunnya
Hadis mengakhiri penulisan Hadisnya dengan kata “akhrajahul Bukhari”, artinya
bahwa Hadis yang dinukilkan itu terdapat kitab Jamius Shahih Bukhari. Bila ia
mengakhiri dengan kata Akhrajahul Muslim berarti Hadis tersebut terdapat dalam
kitab Shahih Muslim.
c.
Suatu usaha
mencari derajat, sanad, dan rawi Hadis yang tidak diterangkan oleh penyusun
atau pengerang suatu kitab. Misalnya, takhrij Alhadisil Kasysyaaf, karyanya
Jamaludin Al-Hanafi adalah suatu kitab yang mengusahakan dan menerangkan
derajat Hadis yang terdapat dalam kitab Tafsir Al-Kasysyaaf, yang oleh
pengarangnya tidak diterangkan derajat Hadisnya, apakah shahih, hasan, atau pun
lainnya.[3]
B. Sejarah Takhrij
Pada mulanya, menurut Thahan, ilmu takhrij al-hadits
tidak dibutuhkan oleh para ulama dan penelitian hadits karena pengetahuan
mereka tentang sumber hadis ketika itu sangat luas dan baik.[4] Ketika
para ulama merasa kesulitan untuk mengetahui sumber dari suatu hadis, yaitu
setelah berjalan beberapa periode tentu dan setelah berkembangnya karya-karya
ulama dalam bidang fikih, tafsir dan sejarah, yang memuat hadis-hadis Nabi SAW.
yang kadang-kadang tidak menyebutkan sumbernya, maka para ulama hadis terdorong
untuk melakukan takhrij terhadap karya-karya tersebut.[5]
Pengusaan para ulama terdahulu terhadap sumber-sumber
As-Sunnah begitu luas sekali, sehinga mereka tidak merasa sulit jika disebutkan
suatu Hadis untuk mengetahuinya dalam kitab-kitab As-Sunnah. Ketika semangat
belajar melemah, mereka kesulitan untuk mengetahui tempat-tempat Hadis yang
dijadikan sebagai rujukan para penulis dalam ilmu-ilmu syar’i. maka sebagaian
dari ulama bangkit dan menjelaskan sumbernya dari kitab-kitab As-Sunnah yang
asli, menjelaskan metodenya, dan menerangkan hukumnya dari yang shahih atas
yang dhaif, lalu muncullah apa yang dinamakan “kutub takhrij” (buku-buku
takhrij).[6]
C. Tujuan dan Manfaat Takhrij Hadis
Menurut ‘Abd al-Mahdi, yang menjadi tujuan dari takhrij
adalah: “menunjukan sumber hadis dan menerangkan ditolak atau diterimanya
Hadis tersebutt.” Dengan demikian, ada dua hal yang menjadi tujuan takhrij,
yaitu:
a.
Untuk
mengetahui sumber dari suatu Hadis, dan
b.
Mengetahui
kualitas dari suatu Hadis, apakah dapat diterima (Shahih atau Hasan) atau
ditolak (Dhaif).[7]
Sedangkan manfaat
takhrij banyak sekali, ‘Abd al-Mahdi menyimpulkan sebanyak dua puluh manfaat,
yaitu:
1.
Memperkenalkan
sumber-sumber Hadis, kitab-kitab asal dari suatu Hadis beserta Ulama yang
meriwayatkannya.
2.
Menembah
pembendaharaan sanad Hadis melalui kitab-kitan yang ditunjuknya.
3.
Memperjelas
keadaan sanad, sehingga dapat diketahui apakah Munqathi, Mu’dhal, atau lainnya.
4.
Memperjelas
hokum Hadis dengan banyaknya riwayatnya, seperti Hadis Dhaif satu riwayat, maka
dengan takhrij kemungkinan akan didapati riwayat lain yang dapat mengangkat
status Hadis tersebut kepada derajat yang lebih tinggi.
5.
Mengetahui
pendapat-pendapat para Ulama sekitar hokum Hadis.
6.
Memperjelas perawi
Hadis yang samar, karena adanya takhrij dapat diketahui nama perawi yang
sebenarnya secara lengkap.
7.
Memperjelas
perawi Hadis yang tidak ditahui namanyamelalui perbandingan diantara
sanad-sanadnya.
8.
Dapat
menafikan pemakaian “an” dalam periwayatan Hadis oleh seoarang perawi mudallis.
Dengan didapatinya sanad yang lain yang memakai kata yang jelas kebersambungan
sanad-nya, maka periwayatan yang memakai “an” tadi akan tampak pula
kebersambungan sanad-nya.
9.
Dapat
menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran riwayat.
10.
Dapat
membatasi nama perawi yang sebenarnya. Hal ini karena mungkin saja ada
perwi-perawi yang mempunyai kesamaan gelar.
11.
Dapat
memperkenalkan periwayatan yang tidak terdapat dalam suatu sanad.
12.
Dapat
memperjelas arti kalimat asing yang terdapat dalam suatu sanad.
13.
Dapat
menghilangkan syadz (kesendirian riwayat yang menyalahi riwayat perawi yang
lebih tsiqat) yang terdapat pada suatu Hadis melalui perbandingan riwayat.
14.
Dapat
membedakan Hadis yang mudraj (yang mengalami penyusupan sasuatu) dari yang
lainnya.
15.
Dapat
mengungkapkan keragu-raguan dan kekeliruaan yang dialami oleh seorang perawi.
16.
Dapat
mengungkapkan hal-hal yang terlupakan atau diringkas oleh seorang perawi.
17.
Dapat
membedakan proses periwayatan yang dilakukan dengan lafaz dan yang dilakukan
dengan makna saja.
18.
Dapat
menjelaskan masa dan tempat kejadian
timbulnya Hadis.
19.
Dapat
menjelaskan sebab-sebab timbulnya Hadis melalui perbandingan sanad-sanad yang
ada.
20.
Dapat
mengungkapkan kemungkinan terjadinya kesalahan cetak melalui perbandingan-perbandingan
sanad yang ada.[8]
D. Kitab-kitab Yang Diperlukan
Dalam melakukan takhrij, seseorang memerlukan
kitab-kitab tertentu yang dapat dijadikan pegangan atau pedoman sehingga dapat
melakukan kegiatan takhrij secara mudah dan mencapai sasaran yang dituju. Diantara
kitab-kitab yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam meng-takhrij
adalah Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid oleh Muhammad al-Thahan, Hushul
al-Tafrij al-bi Ushul al-Takhrij oleh Ahmad ibn Muhammad al-Shiddiq
al-Gharami, Thuruq Takhrij Hadis Rasullah saw. karya Abu Muhammad
al-Mahdi ibn ‘Abd al-Qadir ibn ‘Abd al-Hadi, Metodologi Penelitian Hadits
Nabi tulisan Syuhudi Ismail, dan lain-lain.[9]
Ada beberapa kitab yang diperlukan untuk melakukan takhrij
Hadis. Adapun kitab-kitab tersebut antara lain:
1.
Hidayatul bari ila tartibi ahadisil
Bukhari
Penyusun
kitab ini adalah Abdur Rahman Ambar al-Misri at-Tahtawi. Kitab ini disusun
khusus untuk mencari hadis-hadis yang termuat dalam kitab Sahih Bukhari.
Lafal-lafal hadis disusun menurut aturan urutan huruf abjad Arab. Namun
hadis-hadis yang dikemukakan secara berulang dalam kitab Sahih Bukhari
tidak dimuat secara berulang dalam kamus di atas. Dengan demikian perbedaan
lafal dalam matan hadis riwayat al-Bukhari tidak dapat diketahui lewat kamus
tersebut.[10]
2.
Mu’jam al-Fazi wala siyyama al-Garibu
minha fihr litartibi ahadisi sahihi Muslim
Kitab tersebut merupakan salah satu juz, yakni juz ke-V dari
kitab Sahih Muslim yang dikutip oleh Muhammad Abdul Baqi. Jus V ini
merupakan kamus yang di dalamnya di mulai juz I-V yang berisi:
a.
Daftar urutan judul kitab serta nomor
hadis dan juz yang memuatnya.
b.
Daftar nama para sahabat Nabi yang
meriwayatkan hadis yang termuat dalam kitab Sahih Muslim.
c.
Daftar awal matan hadis dalam bentuk
sabda yang tersusun menurut abjad serta diterangkan nomor-nomor hadis yang
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, bila kebetulan hadis tersebut juga
diriwayatkan oleh Imam Bukhari sendiri.[11]
3.
Miftahus Sahihain
Kitab ini disusun oleh Muhammad Syarif bin Mustafa
al-Tauqiah kitab ini dapat digunakan untuk mencari hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan diriwayatkan oleh Muslim. Akan tetapi hadis-hadis
yang dimuat dalam kitab ini hanyalah hadis-hadis yang berupa qauliyah
saja. Hadis-hadis tersebut disusun menurut abjad dari awal lafal matan hadis.
4.
Al-Bughyatu fi tartibi ahadisi
al-hilyah
Kitab ini disusun oleh Said Abdul Aziz bin al-Said Muhammad
bin Said Siddiq al-Qammari. Kitab hadis tersebut memuat dan menerangkan
hadis-hadis yang tercantum dalam kitab yang disusun Abu Nuaim al-Asabuni (w.430
H) yang berjudul Hilyatul auliyai wababaqatul asfiyai. Sejenis dengan
kitab tersebut adalah kitab Miftahut tartibi li ahadisi tarikhul khatib,
yang disusun oleh Said Ahmad bin Said Muhammad bin Said As-Siddiq al-Qammari
yang memuat dan menerangkan hadis-hadis yang tercantum dalam kitab sejarah yang
disusun oleh Abu Bakar bin Ali bin Subit bin Ahmad al-Bagdadi yang dikenal
dengan al-Khatib al-Bagdadi (w.463 H). Susunan kitabnya diberi judul Tarikhul
Bagdadi yang terdiri atas empat jilid.
5.
Al-Jami’us Sagir
Kitab
ini disusun oleh Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuti (w. 91 H). Kitab hadis
tersebut memuat hadis-hadis yang terhimpun dalam kitab himpunan kutipan hadis
yang disusun oleh Imam Suyuti juga yaitu Kitab Jam’ul Jawani. Hadis yang
dimuat di dalam kitab jami’us Sagir disusun berdasarkan urutan abjad
dari awal lafal matan hadis. Sebagian dari hadis-hadis itu ada yang ditulis
secara lengkap dan adapula yang ditulis sebagian-sebagian saja, namun telah
mengandung pengertian yang cukup.
Kitab
hadis tersebut juga menerangkan nama-nama sahabat Nabi saw yang meriwayatkan
hadis yang bersangkutan dan nama-nama mukharijnya. Selain hampir setiap
hadis yang dikutip dijelaskan kualitasnya menurut penilaian yang dilakukan atau
disetujui oleh Imam Suyuti.[12]
6.
Al-mu’jam al-Mufahras li alfazil hadis
nabawi
Penyusun kitab ini adalah sebuah tim dari kalangan
orientalis. Diantara anggota tim yang paling aktif dalam kegiatan proses
peyusunan ialah Dr. Arnold John Weinsinck (w.1939 M), seorang profesor
bahasa-bahasa semit, termasuk bahasa Arab di Universitas Leiden, negeri
Belanda. Kitab ini dimaksudkan untuk mencari hadis berdasarkan petunjuk lafal
matan hadis. Berbagai lafal yang disajikan tidak dibatasi hanya lafal-lafal
yang berbeda di tengah dan bagian-bagian lain dari matan hadis. Dengan
demikian, kitab Mu’jam mampu memberikan informasi kepada pencari matan
dan sanad hadis, asal saja sebagian dari lafal matan yang dicarinya itu telah
diketahuinya.
Kitab
Mu’jam ini terdiri dari tujuh juz dan dapat digunakan untuk mencari
hadis-hadis yang terdapat dalam sembilan kitab hadis, yakni: Sahih Bukhari,
Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Turmuzi, Sunan Nasai, Sunan Ibnu Majjah,
Sunan ad-Darimi, Muwatha’ Malik dan Musnad Ahmad.[13]
E. Cara Pelakasaan dan Metode Takhrij
Didalam melakukan takhrij, ada lima metode yang dapat
dijadikan sebagai pedoman, yaitu:
1.
Takhrij
melalui lafaz pertama matan Hadis
Metode ini tergantung pada lafaz pertama matan hadis.
Hadis-hadis dengan metode ini dikodifikasi berdasarkan lafaz pertamanya menurut
urutan huruf-huruf hijaiyah, seperti hadis-hadis yang huruf pertama dan lafaz
pertamanya alif, ba’, ta’, dan seterusnya. Seorang mukharrij yang
menggunakan ini haruslah terlebih dahulu mengetahui secara pasti lafaz pertama
dari hadis yang akan di takhrij-nya, setelah itu barulah dia melihat
huruf pertamanya pada kitab-kitab takhrij yang disusun berdasarkan metode
ini, dan huruf kedua, ketiga, dan seterusnya. Seperti contoh jika kita mau men-takhrij
hadis yang berbunyi:
مَنْ حَدَّثَ عَنِّى حَدِيْثًا وَهُوَ
يَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِيْنَ
Maka, langkah yang akan ditempuh dalam penerapan ini adalah
menentukan urutan huruf-huruf yang terdapat pada lafaz pertamanya, dan begitu
juga lafaz-lafaz selanjutnya:
a.
Lafaz pertama dari hadis di atas di
mulai dengan huruf mim, maka di buka kitab-kitab hadis yang disusun
berdasarkan metode ini pada bab mim.
b.
Kemudian mencari huruf kedua setelah mim,
yaitu nuan.
c.
Berikutnya mencari huruf-huruf
selanjutnya, yaitu ha, da, dan tsa. Dan demikianlah seterusnya
mencari huruf-huruf hijaiyah pada lafaz-lafaz matan hadis tersebut.
Di antara kitab-kitab yang menggunakan metode ini adalah:
a.
Al-Jami’ al-Shaghir min hadis al-Basyir
al-Nadzir,
karangan al-Suyuthi (w.911 H).
b.
Al-Fath al-Kabir fi Dhamm al-Ziyadat
ila al-Jami’ al-Shagir, juga karangan al-Suyuthi.
c.
Jam’al-jawawi’ aw al-Jami’ al-Kabir, juga dikangan oleh
al-Suyuthi.
d.
Al-Jami’ al-Azhar min hadis al-Nabi
al-Anwar,
oleh al-Minawi (w.1031).
e.
Hidayat al-Bari ila Tartib Ahadis
al-Bukhari,
oleh’Abd al-Rahim ibn ’Anbar al-Thahawi (w.1365).
f.
Mu’jam jami’ al-Ushul fi Ahadis
al-Rasul,
oleh Imam al-Mubarak ibn Muhammad ibn al-Atsir al-Jazari.[14]
2.
Takhrij
menurut lafaz-lafaz yang terdapat didalam matan Hadis
Metode ini adalah berdasarkan pada kata-kata yang terdapat
dalam matan hadis, baik berupa isim atau fiil. Hadis-hadis yang
dicantumkan adalah berupa potongan atau bagian dari hadis, dan para ulama yang
meriwayatkannya beserta nama kitab-kitab induk hadis yang dikarang mereka,
dicantumkan di bawah potongan hadis-hadis tersebut.
Penggunaan metode ini akan lebih mudah manakala
menitikberatkan pencarian hadis berdasarkan lafaz-lafaznya yang asing dan
jarang penggunaannya. Umpamanya, pencarian hadis berikut:[15]
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ صَلاَةً مِنْ غَيْرِ طَهُوْرٍ , وَلاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ
3.
Takhrij
menurut perawi pertama
Metode ini berlandaskan pada perawi pertama suatu hadis,
baik perawi tersebut dari kalangan sahabat, bila sanadnya muttashil
sampai kepada Nabi saw, atau dari kalangan Tabi’in, apabila hadis
tersebut Mursal. Para penyusun kitab-kitab takhrij dengan metode
ini mencantumkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para perawi pertama
tersebut. Oleh karenanya, sebagai langkah pertama dalam metode ini adalah
mengenal para perawi pertama dari setiap hadis yang hendak di takhrij,
dalam kitab-kitab itu, dan selanjutnya mencari hadis dimaksud di antara
hadis-hadis yang tertera di bawah nama perawi pertama tersebut.
Kitab-kitab yang disusun berdasarkan metode ini adalah
kitab-kitab al-Athraf dan kitab-kitab Musnad. Kitab al-Athraf adalah kitab yang
menghimpun hadis-hadis yang diriwayatkan oleh setiap sahabat. Penyusunnya hanya
menyebutkan beberapa kata atau pengertian dari matan hadis, yang dengannya
dapat dipahami hadis dimaksud. Sementara dari segi sanad, seluruh
sanad-sanadnya dikumpulkan. Di antara kitab-kitab al-Athraf ini adalah: Athraf
al-Shahihain, karangan Imam Abu Mas’ud Ibrahim al-Dimasyqi (w.400 H), Athraf
al-Kutub al-Sittah, karangan Syams al-Din al-Maqdisi (w. 507 H), dan
lainnya.
Adapun kitab Musnad adalah kitab yang disusun
berdasarkan perawi teratas, yaitu sahabat, dan memuat hadis-hadis setiap
sahabat. Kitab ini menyebutkan seorang sahabat dan di bawah namanya itu
dicantumkan hadis-hadis yang diriwayatkan dari Nabi saw beserta pendapat dan
tafsirannya. Suatu kitab musnad tidaklah memuat keseluruhan sahabat, ada
diantaranya yang memuat sahabat dalam jumlah besar dan ada yang memuat
sahabat-sahabat yang memiliki kesamaan dalam hal-hal tertentu, seperti musnad
sahabat yang sedikit riwayatnya, atau musnad sepuluh sahabat yang di jamin
masuk syurga, atau bahkan ada musnad yang memuat hadis-hadis dari satu orang
sahabat, seperti musnad Abu Bakar.
Hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab Musnad tidak diatur
menurut suatu aturan apapun dan tidak memiliki nilai atau kualitas yang sama.
Dengan demikian, di dalam musnad terdapat hadis-hadis sahih, hasan, dan dha’if,
dan masing-masing tidak terpisah antara yang satu dengan yang lainnya tetapi
dikumpulkan menjadi satu. Diantara contoh kitab Musnad tersebut adalah Musnad
Imam Ahmad bin Hanbal.[16]
4.
Takhrij
menurut tema Hadis
Metode ini berdasarkan pada tema dari suatu hadis. Oleh
karena itu, untuk melakukan takhrij dengan metode ini, perlu terlebih
dahulu disimpulkan tema dari suatu hadis yang akan di-takhrij, dan
kemudian baru mencarinya melalui tema tersebut pada kitab-kitab yang disusun
menggunakan metode ini. Seringkali suatu hadis memiliki lebih dari satu tema.
Dalam kasus demikian seorang mukharrij harus mencarinya pada tema-tema
yang mungkin di kandung oleh hadis tersebut.
أمرت أن أقاتل الناس
حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله، ويقيموا الصلاة، ويؤتوا
الزكاة، فإذا فعلوا ذلك عصموا مني دماءهم وأموالهم إلا بحق الإسلام، وحسابهم على
الله.
Hadis diatas mengandung beberapa tema, yaitu iman, tauhid,
salat, dan zakat. Berdasarkan tema-tema tersebut, maka hadis di atas harus
dicari di dalam kitab-kitab hadis di bawah tema-tema itu. Dari keterangan ini
jelaslah bahwa takhrij dengan metode ini sangat tergantung kepada
pengenalan terhadap tema hadis, sehingga apabila tema dari suatu hadis tidak
diketahui, maka akan sulitlah untuk melakukan takhrij dengan menggunakan
metode ini.[17]
5.
Takhrij
menurut klasifikasi (status) Hadis
Metode ini memperkenalkan suatu upaya baru yang telah
dilakukan para ulama hadis dalam menyusun hadis-hadis, yaitu penghimpunan hadis
berdasarkan statusnya. Karya-karya tersebut sangat membantu sekali dalam proses
pencarian hadis berdasarkan statusnya, seperti Hadis-hadis Qudsi, Hadis masyhur,
Hadis Mursal, dan lainnya. Seorang peneliti hadis, dengan membuka
kitab-kitab seperti diatas, dia telah melakukan takhrij al-Hadis.[18]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan
yang dapat kami ambil dari makalh takhrij Hadis ini adalah:
1.
Pengertian
takhrij Hadis
Pengertian takhrij
menurut ahli Hadis memiliki tiga (3) macam pengertian, yaitu:
a.
Usaha mencari
sanad Hadis yang terdapat dalam kitab Hadis karya orang lain, yang tidak sama
dengan sanad yang terdapat dalam kitab tersebut.
b.
Suatu
keterangan bahwa Hadis yang dinukilkan ke dalam kitab susunannya itu terdapat
dalam kitab lain yang telah disebutkan nama penyusunnya.
c.
Suatu usaha
mencari derajat, sanad, dan rawi Hadis yang tidak diterangkan oleh penyusun
atau pengerang suatu kitab.
2.
Sejarah
Takhrij
Pengusaan para ulama
terdahulu terhadap sumber-sumber As-Sunnah begitu luas sekali, sehinga mereka
tidak merasa sulit jika disebutkan suatu Hadis untuk mengetahuinya dalam
kitab-kitab As-Sunnah. Ketika semangat belajar melemah, mereka kesulitan untuk
mengetahui tempat-tempat Hadis yang dijadikan sebagai rujukan para penulis
dalam ilmu-ilmu syar’i. maka sebagaian dari ulama bangkit dan menjelaskan
sumbernya dari kitab-kitab As-Sunnah yang asli, menjelaskan metodenya, dan
menerangkan hukumnya dari yang shahih atas yang dhaif, lalu muncullah apa yang
dinamakan “kutub takhrij” (buku-buku takhrij).
3.
Tujuan dan
manfaat takhrij Hadis
Menurut ‘Abd al-Mahdi, yang menjadi tujuan dari takhrij
adalah: “menunjukan sumber hadis dan menerangkan ditolak atau diterimanya
Hadis tersebutt.” Dengan demikian, ada dua hal yang menjadi tujuan takhrij,
yaitu:
a.
Untuk
mengetahui sumber dari suatu Hadis, dan
b.
Mengetahui
kualitas dari suatu Hadis, apakah dapat diterima (Shahih atau Hasan) atau
ditolak (Dhaif).
Sedangkan manfaat
takhrij banyak sekali, ‘Abd al-Mahdi menyimpulkan ada beberapa manfaat
diantaranya, yaitu:
a.
Memperkenalkan
sumber-sumber Hadis, kitab-kitab asal dari suatu Hadis beserta Ulama yang
meriwayatkannya.
b.
Menembah
pembendaharaan sanad Hadis melalui kitab-kitan yang ditunjuknya.
4.
Kitab-kitab
yang diperlukan dalam meng-takhrij Hadis
Ada beberapa kitab yang
diperlukan untuk melakukan takhrij Hadis. Adapun kitab-kitab tersebut antara
lain:
a.
Hidayatul bari ila tartibi ahadisil
Bukhari
b.
Mu’jam al-Fazi wala siyyama al-Garibu
minha fihr litartibi ahadisi sahihi Muslim
c.
Miftahus Sahihain
d.
Al-Bughyatu fi tartibi ahadisi
al-hilyah
e.
Al-Jami’us Sagir
f.
Al-mu’jam al-Mufahras li alfazil hadis
nabawi
5.
Cara
pelaksaan dan metode takhrij Hadis
Didalam melakukan
takhrij, ada lima metode yang dapat dijadikan sebagai pedoman, yaitu:
a.
Takhrij
melalui lafaz pertama matan Hadis
b.
Takhrij
menurut lafaz-lafaz yang terdapat didalam matan Hadis
c.
Takhrij
menurut perawi pertama
d.
Takhrij menurut
perawi pertama
e.
Takhrij
menurut klasifikasi (status) Hadis
B. SARAN
Demikianlah makalah yang dapat penulis sajikan, penulis
menyadari bahwa makalah kami masih banyak kekeliruan, untuk itu penulis
membutuhkan kritik dan saran dari para pembaca yang bersifat membangun demi
kebaikan untuk pembuatan makalah selanjutnya dan semoga makalh ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Mifdhol, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS,
Jakarta Timur: PUSTAKA AL-KAUTSAR, 2004
Ahmad Muhammad, DK, ULUMUL HADIS, Bandung: CV PUSTAKA
SETIA, 2000
Sahrani, Sohari,
ULUMUL HADITS, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010
Yuslem, Nawir, ULUMUL HADIS, Jakarta: PT MUTIARA
SUMBER WIDYA, 2001
[1]Mifdhol Abdurrahman, LC, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS, Jakarta Timur:
PUSTAKA AL-KAUTSAR, 2004, h. 189
[2]DR.Nawir Yuslem, MA, ULUMUL HADIS, Jakarta: PT MUTIARA SUMBER
WIDYA, 2001. h.389
[3]Drs. H. Muhammad Ahmad, DK, ULUMUL HADIS, Bandung: CV PUSTAKA
SETIA, 2000. h. 131
[5]Ibid. h. 189
[6]Mifdhol Abdurrahman, LC, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS, Jakarta Timur: PUSTAKA
AL-KAUTSAR, 2004, h. 189
[7]DR. Nawir Yuslem, MA, ULUMUL HADIS, Jakarta: PT MUTIARA SUMBER
WIDYA, 2001. h. 398
[8]DR. Nawir Yuslem, MA, ULUMUL HADIS, Jakarta: PT MUTIARA SUMBER
WIDYA, 2001. h. 400
[9]Sohari Sahrani, ULUMUL HADITS, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010. h.
192
[10]Drs. H. Muhammad Ahmad, DK, ULUMUL HADIS, Bandung: CV PUSTAKA
SETIA, 2000. h. 132
[11]Drs. H. Muhammad Ahmad, DK, ULUMUL HADIS, Bandung: CV PUSTAKA SETIA,
2000. h. 133
[13]Ibid. h. 135
Tidak ada komentar:
Posting Komentar